Rabu, 06 Agustus 2008

happines

Ani adalah ibu dari dua anak yang masih kecil, berusia sekitar 34 tahun. Sudah setahun ini pusing tujuh keliling, stres berat, sakit hati, bingung, takut, cemas, dan masih banyak keluhan lainnya karena suaminya lagi ?sakit?. Suaminya ternyata mengidap trauma akibat perceraian orangtuanya saat ia masih kecil. Saat ini si suami sudah tidak mau ngurus soal rumah tangga. Komunikasi tidak jalan. Kerjanya mereka bertengkar setiap hari.
Si Ibu mengeluh, ?Hidup saya sekarang tidak bahagia. Saya stres dengan keadaan saya.?
?Kebahagiaan adalah suatu pilihan atau keputusan,? jawab saya.
?Maksud Pak Adi?? tanyanya bingung.
?Sebenarnya Anda tidak perlu suami Anda untuk bisa menjadi bahagia. Kebahagiaan tidak ditentukan oleh faktor eksternal. Kebahagiaan lebih ditentukan oleh cara kita berpikir,? jawab saya.
?Lha kok bisa begitu? Kan, keluarga yang bahagia adalah keluarga yang lengkap. Ada suami, istri, dan anak,? jawabnya lagi.
?Bu, orang hidup tidak berarti harus menikah. Siapa yang buat peraturan bahwa kita harus menikah? Kalau sudah menikah kan nggak harus punya anak. Anak adalah konsekwensi logis dari suatu pernikahan. Kalau sudah punya anak, nggak harus punya anak laki dan perempuan. Kita mau menikah atau tidak itu adalah suatu keputusan, bukan keharusan. Saya mengenal orang yang tidak menikah namun hidupnya bahagia. Saya mengenal orang yang menikah dan tidak punya anak namun mereka sangat bahagia. Saya juga mengenal orang yang menikah dan punya anak hanya laki saja atau perempuan saja atau komplit laki dan perempuan dan mereka semua bahagia.
Sebaliknya saya mengenal orang yang tidak menikah namun hidupnya menderita. Ada lagi yang keluarganya komplit, harta melimpah, namun tidak bahagia. Ada kawan saya yang single parent, seorang Ibu dengan satu anak laki, hidupnya bahagia walaupun tidak punya suami. Jadi, kesimpulannya, kebahagiaan itu tidak ditentukan oleh faktor eksternal,? jawab saya panjang lebar.
Pembaca, bila kita bertanya pada diri sendiri, ?Apa sih yang sebenarnya saya cari di dunia ini?? atau, ?Sebelum saya mati, apa yang benar-benar ingin saya capai dalam hidup?? Maka, jawabannya pasti bukan uang atau sesuatu yang bersifat materi. Semua manusia bila ditanya dan mencari ke dalam dirinya dengan sungguh-sungguh maka pasti akan menemukan jawaban tertinggi yaitu kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah kondisi emosi atau pikiran yang dicari semua orang.
Namun sayangnya selama ini kita salah mencari. Kita mencari kebahagiaan di luar diri kita. Kita mencari kebahagiaan bukan di sumber segala kebahagiaan. Banyak orang mencari kebahagiaan, di luar dirinya, dan menemukan ?kebahagiaan? yang tidak membahagiakan. Namun mengapa kebahagiaan tampak begitu sulit untuk dialami?
Pernyataan orang, pada umumnya, yang mengatakan, ?Saya ingin menemukan kebahagiaan...? justru akan menyulitkan diri mereka untuk bisa mengalami kebahagiaan. Mengapa? Karena mereka menempatkan kebahagiaan sebagai sesuatu yang berada di luar diri mereka.
Sebenarnya sulit nggak sih untuk bisa bahagia? Apa rahasianya untuk bisa bahagia?

Seorang guru agung spiritual yang hidup 2.500 tahun lalu memberikan resep jitu mengenai hidup. Beliau berkata bahwa untuk bahagia sebenarnya mudah. Pertama, kita harus sadar kalau kita tidak bahagia. Dengan kata lain kita harus sadar akan kondisi yang sedang kita alami. Langkah kedua, kita harus menemukan sebab mengapa kita tidak bahagia yaitu semua hanyalah permainan pikiran. Langkah ketiga, setelah sebabnya diketahui, yaitu kita tidak bahagia karena pikiran, maka ketidakbahagiaan itu dapat kita atasi. Langkah keempat adalah dengan melakukan tindakan nyata yang didasari oleh prinsip dan cara berpikir yang benar.
Saya setuju sekali dengan apa yang diuraikan oleh guru spiritual tersebut. Benar, kunci kebahagiaan atau kualitas hidup letaknya di pikiran.
Kembali pada Ibu Ani, untuk memperjelas maksud saya maka saya mengajukan pertanyaan, ?Bu, apa syaratnya agar ibu yakin bahwa ibu adalah orangtua yang baik bagi anak-anak ibu??
?Saya merasa sebagai ibu yang baik bila saya menyediakan semua kebutuhan anak saya, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak saya,? jawab ibu Ani.
?Apakah ibu merasa sebagai ibu yang baik?? kejar saya.
?Oh, tentu,? jawab ibu Ani cepat dan mantap.
?Dulu waktu kuliah apakah ibu merasa sebagai mahasiswi yang cerdas??
tanya saya lagi.
?Lha, apa hubungan antara kuliah dengan masalah saya, Pak?? tanya Ibu Ani bingung.
?Ibu jawab saja pertanyaan saya,? pinta saya.
?Saya tidak merasa sebagai mahasiswi yang cerdas,? jawab ibu Ani
?Mengapa ibu tidak merasa cerdas?? kejar saya lagi.
?Karena saya tidak mencapai IPK 3.0 atau lebih,? jawab Ibu Ani.
?Oh, begitu. Jadi, ibu hanya akan merasa cerdas bila IPK ibu 3.0 atau lebih,? tanya saya meminta penegasan.
?Ya, Pak. Di mana-mana yang namanya cerdas itu kalo IPK-nya minimal 3.0. Kalau di bawah 3.0 itu biasa-biasa saja,? jawab ibu Ani mantap.
?Dari mana ibu tahu bahwa yang namanya cerdas itu IPK harus minimal 3.0? Atau dengan kata lain siapa yang mengatakan demikian?? tanya saya lagi.
?Bagaimana sih Pak Adi ini? Di mana-mana ya begitu kan?? jawab ibu Ani agak jengkel.
?Nah, pertanyaannya sekarang adalah apa syaratnya agar ibu merasa bahagia?? tanya saya.
?Saya hanya akan merasa bahagia bila suami saya selalu mendukung, menyayangi, mencintai, memperhatikan, dan mengerti saya. Saya bahagia bila anak-anak saya sehat,? jawab ibu Ani.
?Bu, mungkinkah ibu merasa bahagia bila ibu memutuskan untuk merasa bahagia tanpa diembeli dengan berbagai syarat seperti yang baru ibu sebutkan?? kejar saya.
?Ya.. nggak mungkin toh Pak. Yang namanya keluarga bahagia ya seperti itu,? jawab ibu Ani ngotot.
Pembaca yang budiman. Inilah akar segala ketidakbahagiaan. Kebanyakan kita, seperti juga ibu Ani, sering kali menetapkan syarat yang sangat sulit untuk kita penuhi untuk bisa bahagia.
Sebenarnya kita bisa bahagia kapanpun dan di manapun tanpa harus terikat oleh suatu kondisi, situasi, atau orang lain. Untuk bisa bahagia kita perlu belajar untuk membuka pintu hati. Kebahagiaan sulit atau tidak mungkin dicapai karena kita tidak tahu cara membuka pintu hati. Pintu hati, menurut Rumi, hanya bisa dibuka dari dalam, bukan dari luar.
Seringkali perasaan tidak bahagia hanyalah suatu bentuk kamuflase dari emosi lain. Seringkali apa yang kita rasakan sebagai ketidakbahagiaan adalah suatu bentuk perasaan atau emosi lain yang kita salah atau tidak tahu namanya yang tepat.
Nah, pembaca, bila anda merasa tidak bahagia dengan keadaan anda, coba jawab pertanyaan berikut dengan jujur dan apa adanya:
Apa tepatnya yang membuat saya merasa tidak bahagia?
Kalau hal itu terjadi apa yang paling saya takutkan?
Mengapa saya tidak bahagia mengenai hal ini?
Apa yang saya takutkan akan terjadi jika saya tidak tidak bahagia mengenai hal ini?
Mengapa saya percaya bahwa kalau sekarang saya merasa bahagia maka hal ini akan tidak baik bagi diri saya?
Jawaban anda akan mengungkapkan alasan sesungguhnya yang membuat anda merasa tidak bahagia.

Minggu, 06 Juli 2008

Hai gunung Kaba, kau kami daki......

tatapan penuh cinta..........

Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat ia sedang tidur?
Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur.
Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang.
Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur.
Orang paling kejam di dunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya.
Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya.
Orang inilah, rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.
Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu anda. Hmm...kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai- belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena tempaan hidup yang keras. Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita.
Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata- mata karena rasa kasih dan sayang, dan sayangnya, itu sering kita salah artikan.
Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu... Ayah, Ibu, Suami, Istri, Kakak, Adik, Anak, Sahabat, Semuanya...
Rasakanlah sensasi yang timbul sesudahnya.
Rasakanlah energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah lugu yang terlelap itu.
Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan anda.
Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalah pahaman kecil yang entah kenapa selau saja nampak besar.
Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur.
Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkap segalanya.
Tanpa kata, tanpa suara dia berkata... "betapa lelahnya aku hari ini".
Dan penyebab lelah itu? Untuk siapa dia berlelah-lelah? Tak lain adalah kita.
Suami yang bekerja keras mencari nafkah, istri yang bekerja keras mengurus dan mendidik anak, juga rumah. Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita.
Resapilah kenangan-kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka. Rasakanlah betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua.
Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka "orang-orang terkasih itu" tak lagi membuka matanya, selamanya ...